Jumat, 19 Oktober 2007

sometime.....

Jika matahari yang kulihat adalah terang
Maka sinarnya belum menerangi seluruh isi ruangku
Jika bulan yang kulihat adalah cahaya
Maka keteduhannya belum memayungi seluruh resahku
Jika seluruh laut adalah samudera raksasa
Maka luasnya belum menampung kegelisahanku
Jika resahku belum berhenti

Keteduhan-Mu adalah pintu
Senyum-Mu adalah jendela
dan aku ingin memasukinya......
Memasuki istana-Mu

Perasaan ini.....
haruskah Kebingungan ini terus mendaki tebing-tebing waktu
yang tak berujung?

Haruskah perasaan ini menyusuri tepian-tepian luka?
Wahai laut, bumi, langit, udara dan cahaya

Apakah ini adalah takdir, janji alam, atau

hanya catatan waktu......?
Salamku untukmu, gunung-gunung E-mail



…Masih seperti hidup terkesan didalam benakku, hutan rimba nun disana yang terhias oleh hijau yang abadi beribu-ribu bunga, yang harumnya tidak pernah melemah; dengan telinga batinku aku mendengar angin laut mendesah diantara pohon-pohon pisang dan puncak-puncak pohon nyiur, deburnya air terjun, didaerah pedalaman yang jatuh dari ketinggian tebing-tebing gunung; seolah-olah saya menghirup hawa pagi yang sejuk, seakan-akan saya kembali berada dimuka gubuk orang jawa yang ramah, sedang sepi yang senyap masih meliputi hutan rimba yang mengelilingi diriku,-tinggi diatasku, diawang-awang kelompok-kelompok kalong dengan mengibas-ngibaskan sayapnya bergegas kembali kedaerah tempat bermukimnya disiang hari kemudian mulai ada kehidupan gerakan disengkuap tajuk dari, burung-burung merak meneriakkkan cuhungnya, kera-kera mulai lagi permainana yang lincah, sedang gema suaranya membangunkan gunung-gunung dengan nyanyian paginya, beribu-ribu burung mulai dengan kicaunnya, dan sebelum matahari mewarnai langit timur, puncak yang megah dari gunung disana telah terpulas dengan emas dan merah cerah, dari ketinggian dia memandang diriku seperti kenalan lama,- kerinduanku menanjak dan dengan haus kuharapkan datangnya hari, waktu dimana aku dapat mengatakan.. :

"salamku untukmu, gunung-gunung, "


CINTA ADALAH FITRAH YANG SUCI

Cinta seorang laki-laki kepada wanita dan cinta wanita kepada laki-laki adalah perasaan yang manusiawi yang bersumber dari fitrah yang diciptakan Allah SWT di dalam jiwa manusia , yaitu kecenderungan kepada lawan jenisnya ketika telah mencapai kematangan pikiran dan fisiknya.

"Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri , supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya , dan dijadikan-Nya diantara kamu rasa kasih sayang .Sesungguhnya pada yang demikian itu benar- benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir (Ar Rum ayat 21)

Cinta pada dasarnya adalah bukanlah sesuatu yang kotor , karena kekotoran dan kesucian tergantung dari bingkainya. Ada bingkai yang suci dan halal dan ada bingkai yang kotor dan haram

Cinta mengandung segala makna kasih sayang , keharmonisan , penghargaan dan kerinduan , disamping mengandung persiapan untuk menempuh kehiduapan dikala suka dan duka , lapang dan sempit.

Cinta bukanlah hanya sebuah ketertarikan secara fisik saja. Ketertarikan secara fisik hanyalah permulaan cinta bukan puncaknya.Dan sudah fitrah manusia untuk menyukai keindahan.Tapi disamping keindahan bentuk dan rupa harus disertai keindahan kepribadian dengan akhlak yang baik.

Islam adalah agama fitrah karena itulah islam tidaklah membelenggu perasaan manusia.Islam tidaklah mengingkari perasaan cinta yang tumbuh pada diri seorang manusia .Akan tetapi islam mengajarkan pada manusia untuk menjaga perasaan cinta itu dijaga , dirawat dan dilindungi dari segala kehinaan dan apa saja yang mengotorinya.

Kamis, 18 Oktober 2007

“ HAKEKAT MENDAKI GUNUNG ADALAH

BERANGKAT DENGAN SELAMAT, PULANG JUGA SELAMAT.

CARANYA DENGAN MENYESUAIKAN DIRI SEBAIK MUNGKIN DENGAN ALAM, TIDAK DENGAN MENGADU KEKUATAN MELAWAN ALAM”

Perjalanan di alam bebas pada saat ini sudah umum dilakukan dengan berbagai alasan dan latar belakang, misalnya untuk olahraga, hobi, penelitian, pelatihan, pengajaran, atau sekedar meluangkan waktu untuk mengatasi kepenatan aktivitas sehari-hari. Perjalanan di alam bebas seperti gunung memiliki sifat yang berbeda dengan olahraga lainnya, yaitu:

  • Olahraga ini merupakan olahraga “sunyi”, tidak ada sambutan tepuk sorak, jika kita sebagai pelaksana (atlet) selesai melaksanakannya. Tidak ada sorotan mata penonton dan riuh tepukan tangan di panggung.

  • Kawan yang berjalan di sebelahnya, di tempat sunyi tersebut, bukanlah lawan yang harus dikalahkan, tetapi teman saling mempercayai nasib dan keselamatan jiwa, disamping kepercayaannya kepada Tuhan.

  • Keteledoran atau kecerobohan dalam olahraga ini, bayarannya tinggi, terkadang harus dibayar dengan jiwa.

Banyak sifat-sifat yang baik yang bisa dipupuk pada anak-anak yang dilatih dalam olahraga ini. Paling tidak sifat percaya diri, karena dia selalu ada di tempat dimana bantuan dari orang lain tidak bisa dia harapkan akan datang dengan cepat, sehingga kemandirian pun dapat ditanamkan melalui kegiatan alam bebas. Dia akan menyadari di tempat yang jauh sunyi itu, bahwa dia hanya bisa menggantungkan nasib dirinya kepada kekuatannya sendiri dan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.

Banyaknya kecelakaan yang terjadi pada beberapa gunung, yang menyebabkan jatuh beberapa korban, dikarenakan kurangnya pengetahuan terhadap tempat yang didatangi yang jauh dari pemukiman manusia. Dengan demikian kecelakaan yang mungkin terjadi dapat dihindarkan.

kembaliLAGi??

Aku selalu suka kembali ke alam। Menikmati suara burung, desau angin yang menggesek pucuk-pucuk pepohonan, menghirup bau damar dan pinus atau menceburkan kaki ke dinginnya air sungai yang jernih। sungguh saat yang sangat istimewa। Tak ada suara knalpot, tak ada suara klakson, tak ada bahan pengawet dan plastik. Yang ada hanya apa yang diciptakan Tuhan untuk kita. tak ada campur tangan manusia. semua murni. hanya kita dan Tuhan, melalui ciptaanya.

Mendaki perbukitan, suara kicau burung mengiringi langkah berat kaki-kaki kami yang kurus dan kendur karena jarang digunakan. Suara nafas kami menderu, seolah berlomba-lomba keluar dari kerongkongan dan paru-paruku.

Satu hal yang selalu aku senangi saat mendaki gunung adalah emosi. Aku selalu mendapatkan apa yang disebut sebagai persahabatan, ketulusan, ego, saling membutuhkan dan tolong menolong. Ibaratnya, we can't live without someone else. Kita mesti bersama. Untuk menghilangkan ketakutan, udara dingin yang kadang membekap tubuh, melawan kegelapan dan membangun tempat perlindungan. Sebuah miniatur hidup sesungguhnya, yang tak dapat lagi didapati di kota.
Tak ada rasa canggung saat kita di hutan. Semua orang menjadi dirinya sendiri. Tak ada rasa jaim dan menutupi diri dan sifat asli. Yang ada hanyalah kepolosan seorang pribadi. Tak ada kepura-puraan. Kecuali kau ingin mati dalam kesendirian.

Mendaki gunung dan menyusuri lebatnya hutan lindung juga memberikan gambaran hidup yang sesungguhnya. Kita mesti mendaki selangkah demi selangkah, hanya demi sebuah kesuksesan. Meski kesuksesan itu kadang tak bisa dinikmati atau bahkan dimengerti oleh orang lain. Kita mesti membawa bekal agar bisa menikmati kesuksesan, baik itu bekal fisik berupa makanan maupun bekal non fisik berupa keyakinan, semangat pantang menyerah dan kesetiaan. Kita juga mesti memandang ke depan agar tahu tujuan kita. Sesekali memandang jauh ke depan agar tak hilang arah. Namun selalu menunduk sebagai pertanda ketekunan sekaligus agar tak menjadi sombong dan tersandung akar yang mungkin menghalangi.
Saat turun, kita mesti berjuang untuk bertahan. Gegabah dan tinggi hati akan membuat kita tergelincir. Turun tanpa aturan dan jatuh di kedalaman jurang. Terpuruk dengan luka mendera seluruh tubuh.
Banyak sekali pelajaran hidup yang bisa kita dapat. Inilah yang kadang tak bisa dikatakan para pecinta alam saat melakoni hobynya. Aku belajar tentang hidup dan tujuan hidup yang sebenarnya saat melangkahkan kaki menyusuri jalan setapak. Aku mensyukuri nikmat Tuhan saat menikmati sinar mentari pertama di puncak gunung. Aku belajar untuk tidak menjadi sombong dan tinggi hati saat menuruni lereng gunung, dan aku belajar untuk tak jadi egois saaat berbagi makanan di tenda yang sempit.
That's why I like to take a trip to climb the hill. Because I love to enjoy the creation of God.

hidup itu,... naik gunung...

kenapa? hehe karena saya ingin sekali membahas ini. pengalaman ndaki-ndaki tempat tinggi itu memang belum banyak, tapi, dengan yang sedikit ini, saya ingin sekali berbagi.

hidup itu, naik gunung,.. woops, bukan berarti hidup dihabiskan untuk naik dari satu gunung ke gunung lain, (boleh juga sih, kalo mau..)

berikut, satu per satu hal yang mbikin naik gunung itu selayaknya miniatur dari hidup kita yang akan berakhir di suatu waktu yang entah..

1. Ketika mendaki, di sana, cuma Tuhan yang bisa menolong kita.

tanpa banyak berdoa, mendaki gunung adalah hal yang amat mengkhawatirkan. bayangkan sejuta resiko yang bisa didapat dalam perjalanan naik ato turun. capek, suhu dingin, cidera, tersesat, bertemu 'sesuatu', hewan liar, dan lain-lain-lainnya. walaupun naik berombongan, ngga bisa sepenuhnya mengandalkan kawan2 untuk membantu kalo2 terjadi sesuatu sama saya. justru malah mungkin, kaki yang keseleo, ato tersesat mbikin susah kawan lainnya. maka saya tak pernah lupa ketika menapaki langkah pertama di jalur, bahwa hidup dan mati saya, sampai atau tidaknya saya kembali turun, benar-benar ada di tangan Tuhan. sepenuhnya. tanpa banyak berdoa, saya tidak ingin membayangkan apa-apa yang mungkin terjadi. seperti hidup, sesungguhnya, sebenar-benarnya, hidup dan mati kita, ada ditangannya, sayang sering kita lupa, kalo kita cuma manusia..

2. Jangan tengok belakang!!

yup!menunggu teman yang tertinggal di belakang? duduk dan tunggu. jangan berdiri dan menoleh ke belakang. perjalanan akan terasa jauh, kapan nyampe'nya nengok-nengok mlulu ke belakang? secara ilmiah, kalo lagi jalan trus nengok ke belakang kan bisa kesandung terus jatoh.. ya ga?

pun dalam hidup, ketika terlalu sering menengok ke belakang, membuang terlalu banyak energi untuk melihat segala yang sudah berlalu.. jalani saja hidup.. dont look back. stop it!

sekedar info, di jalur semeru ada sebuah tanjakan, dinamai tanjakan cinta. entah mengapa. mitosnya, jika melalui tanjakan itu sambil memikirkan pacar, gebetan, selingkuhan, ato apalah, tanpa menengok ke belakang, harapan cintanya bisa terkabul..

ketika kemarin saya melewatinya... saya tak henti memikirkan... rupiah-rupiah-rupiah (menyaingi cindy cenora 'aku cinta rupiah')

3. Smangat!!! tapi saya lelah...

Ketinggian 3676 mdpl, dengan kemiringan track nyaris 80 derajat, beban air di ransel, plus udara dingin yang mbikin susah nafas, angin plus debu, semakin menuju puncak, dengan jalur pasir yang kalo ga hati2 bisa ambrol kalo dipijak, fiuuuuhh.... saya lelah, saya ingin menyerah, saya berhenti saja dan tunggu disini..

hmmm, tapi ato semangat. segalanya akan terbayar ketika sampai di puncak sana. melihat samudera di atas langit, dan di atas langit masih ada langit, ayo semangat-semangat!!begitupun hidup kan? harus semangat. bukan hal aneh, seiring bertambahnya usia, tantangan, beban dan pencapaian akan jauh menjelma lebih besar. seringkali saya dihinggapi putus asa, ingin berhenti, lari, escaping, tapi percuma. tantangan harus dihadapi dengan penuh semangat.

kalau sudah sampai puncak, Subhanallah, takkan ada yang mengalahkan rasa takjub pada diri sendiri ketika menyadari... saya bisa melangkahkan kaki sampai di sini..

4. look, whos behind the masks...

apa saya loyal ato pelit? apa saya rajin ato males? apa saya optimis ato pesimis? saya peduli ato egois? saya pelupa ato teliti?

banyak sifat yang sebelumnya ngga saya sangka ada pada saya tiba-tiba muncul dalam keadaan survive. baik survive dari dingin, lapar ato lelah. ego tiba2 menduduki posisi lebih tinggi, ya ngga kaget, kalo yang udah paham, pasti tau, di lapangan, orang bisa keliatan aslinya. makanya ati2 menjaga sikap.. lucu juga tau aslinya orang2 gimana di balik kesehariannya yang pastinya beda banget. hehe, tapi ini juga bisa nambah akrab.

sayang. cuma ini yang bisa saya uraikan, dari buanyak hal yang telah dan pernah saya dapat dari pengalaman mendaki. langit, awan, pohonan, bintang-bintang dan ketinggian adalah hal-hal yang sulit saya dapat ketika melewati gang senpit, jalan layang dan gedung-gedung menjulang..

mungkin kamu-kamu bisa coba mendaki.. rasakan.. ato punya pengalaman lebih seru? berbagilah dengan saya..

MENAKLUKKAN, MENCIPTAKAN, ATAU MENCARI (-CARI) TANTANGAN?

Stacy Allison adalah wanita Amerika pertama yang mencapai puncak Everest, pegunungan Himalaya. Ini terjadi pada tahun 1988. Karena hal ini, namanya tercatat dalam sejarah, paling tidak dalam sejarah Amerika, khususnya hikayat para pendaki gunung. Namun bagi Stacy pribadi, kejadian ini adalah kisah balik yang menentukan siapa dirinya sebenarnya.

Sejak berusia 7 tahun, Stacy sudah belajar mendaki gunung (orang dewasa menyebutnya - bukit) yang ada di sekitar tempat tinggalnya. Seperti semua anak pada umumnya, ia sangat menginginkan hidup normal, penuh damai dan bahagia di tengah-tengah orang yang dikasihi dan mengasihinya. Tapi ternyata itu hanya mimpi. Ayahnya meninggalkan ibunya ketika Stacy berusia 14 tahun, karena tertarik pada wanita lain.

Rasanya hal ini cukup mempengaruhi persepsi Stacy tentang pria. Berkali-kali ia tertarik pada pria secara jujur dan polos, karena pria itu memiliki kelebihan tertentu, terutama bila itu berkaitan dengan minatnya mendaki gunung. Namun tanpa disadari hidup pernikahannya terjalin dengan seorang pria yang mengaku mencintainya setengah mati namun tega memukulinya secara fisik, mengejek ketidakberdayaannya, dan sekaligus menghancurkan harga dirinya, walaupun pria itu adalah seorang pendaki gunung yang punya pengalaman segudang!

Buat Stacy, menaklukkan Everest adalah perjalanan yang penuh persiapan, bukan hanya secara fisik dan finansial, tetapi mental. Ia tidak peduli apakah kalau berhasil ia akan menjadi wanita Amerika pertama atau tidak. Ia tidak berpikir untuk mengukir namanya di antara nama-nama penting lainnya dalam sejarah. Namun yang ingin dibuktikan ialah, bahwa pendakian itu dapat dilakukan tanpa campur tangan Mark, eks suaminya, yang selama ini selalu membanggakan diri menjadi pembimbing Stacy.

Keberhasilan menaklukkan Everest membuat Stacy melihat hidup ini secara lebih realistis. Buat Stacy, mendaki gunung adalah kesempatan untuk menaklukkan tantangan, yang hadir sekaligus dengan tanggung jawab, tekanan dan harapan. Dalam kata-kata Stacy yang tertuang dalam bukunya Beyond the Limit, ... to look beyond the ordinary and to transcend myself. Di balik apa yang kita kerjakan, lihat dan pandang ke atas, dan kita akan menemukan sesuatu yang baru. Kita akan mengenali siapa diri kita dan kekuatan kita yang sesungguhnya setelah kita menaklukkan puncak-puncak gunung yang semula nampak menakutkan.

Sama seperti Stacy, kita pun dapat mendaki puncak-puncak gunung untuk menemukan siapa diri kita yang sesungguhnya. Mungkin gunung itu tidak hadir secara fisik, (walaupun cukup banyak gunung di pulau Jawa dan Sumatra), tetapi masih banyak gunung-gunung lain yang dapat membantu kita menemukan siapa diri kita dan seberapa jauh kita dapat mengaktualkan potensi kita yang sesungguhnya. Banyak studi yang membuktikan, bahwa kematangan pribadi seseorang justru dibuktikan setelah orang itu berhasil membuktikan kemandiriannya saat mengalahkan berbagai tantangan. Sebaliknya, orang yang dependen (tergantung) adalah orang yang lari bila menghadapi masalah. Dengan kata lain, keberhasilan menjawab tantangan akan menentukan kualitas pribadi kita.

Seperti imbauan Stacy, Lihatlah ke atas, ke luar dari rutinitas, pandanglah, dan ternyata ada gunung yang harus didaki, masih banyak hal yang dapat kita lakukan untuk menjadi lebih baik. Merasa tidak puas dan ingin berbuat lebih baik lagi adalah kata kuncinya. Ternyata tantangan itu ada di mana-mana, tanpa perlu kita mencari-cari, apalagi menciptakan! Barulah ketika kita berhasil mengerjakan itu semua, kita akan menemukan siapa diri kita yang sebenarnya. Dan yang menyejukkan hati, tidak ada kata terlambat untuk memulai ini semua. Tinggal mau atau tidak!
ARE YOU OUT OF YOUR MIND ?

Banyak orang bilang, mendaki gunung adalah salah satu pekerjaan sia-sia yang ada di muka bumi. Bagaimana nggak?, sudah cape-cape naik sampe puncak kok ya terus turun lagi!!. Kayak nggak ada kerjaan kan?.

Sudah resikonya tinggi, peralatannya juga nggak murah lagi!. Bayangkan, satu buah carryl ukuran 100 liter aja paling murah 200 sampai 400 ribuan itu yang merk lokal, sepatu gunung antara 200 sampai 500 ribuan itupun yang standar, belum lagi tenda, yang kapasitas tiga orang aja minimal sudah 600 ribuan lagi-lagi itupun yang standar!!. Belum termasuk peralatan lainnya seperti sleeping bag 100 ribuan, kompor gas portable 100 ribuan, jaket 150 ribuan, kompas, matras, kacamata, binocular, survival knife dan masih banyak lagi

Harga peralatan gunung yang harus dibayar oleh seorang hiker sejati memang sama sekali tidak bisa dibilang murah, tapi hobby dan panggilan hati nurani mengalahkan segalanya, kebanyakan hiker berpengalaman mengatakan harga yang harus dibayar untuk sebuah petualangan seru memang jelas tidak akan bisa murah, tapi hasil yang didapat jelas setimpal dengan harga itu.
TANPA PERSIAPAN, NAIK GUNUNG TIDAK BERMAKNA

BANYAK remaja sering mengisi waktu liburan dengan naik gunung. Namun, karena ketidak-tahuan, kegiatan fisik berat itu sering tidak disiapkan dengan baik. Padahal, mendaki gunung ditentukan oleh faktor ekstern dan intern, dan kebugaran fisik mutlak diperlukan.

Pendaki gunung legendaris asal Inggris, Sir George Leigh Mallory, kerap menjawab pendek pertanyaan mengapa ia begitu "tergila-gila" naik gunung. "Because it is there," ujarnya. Jawaban itu menggambarkan betapa luas pengalamannya mendaki gunung dan bertualang. Selain jawaban itu, masih banyak alasan mengapa seseorang mendaki gunung atau menggeluti kegiatan petualangan lainnya.

Anggota-anggota Mapala Universitas Indonesia-kelompok pencinta alam tertua (bersama Wanadri Bandung) di Indonesia-contohnya. Mereka punya alasan lebih panjang dari Mallory. Dalam halaman awal buku pegangan petualangan yang dimiliki seluruh anggotanya tertulis, "Nasionalisme tidak dapat tumbuh dari slogan atau indoktrinasi. Cinta tanah air hanya tumbuh dari melihat langsung alam dan masyarakatnya. Untuk itulah kami naik gunung".
Yang jelas, tidak seorang petualang alam-komunitas di Indonesia lebih senang menggunakan istilah pencinta alam-melakukan kegiatan itu dengan alasan untuk gagah-gagahan. Karena bukan untuk gagah-gagahan, maka sebaiknya tidak ada istilah "modal nekad" dalam mendaki gunung.

Bagaimanapun, gunung dengan rimba liarnya, tebing terjal, udara dingin, kencangnya angin yang membuat tulang ngilu, malam yang gelap dan kabut yang pekat bukanlah habitat manusia modern. Bahaya yang dikandung alam itu akan menjadi semakin besar bila pendaki gunung tidak membekali diri dengan peralatan, kekuatan fisik, pengetahuan tentang alam, dan navigasi yang baik. Tanpa persiapan yang baik, naik gunung tidak bermakna apa-apa.

Secara umum, ada dua faktor yang mempengaruhi berhasil tidaknya pendakian gunung. Pertama, faktor ekstern atau faktor yang berasal dari luar diri pendaki. Cuaca, kondisi alam, gas beracun yang dikandung gunung dan sebagainya yang merupakan sifat dan bagian alam. Karena itu, bahaya yang mungkin timbul seperti angin badai, pohon tumbang, letusan gunung atau meruapnya gas beracun dikategorikan sebagai bahaya objektif (objective danger). Seringkali faktor itu berubah dengan cepat di luar dugaan manusia.

Tidak ada seorang pendaki pun yang dapat mengatur bahaya objektif itu. Namun dia dapat menyiapkan diri menghadapi segala kemungkinan itu. Diri pendaki, segala persiapan, dan kemampuannya itulah yang menjadi faktor intern, faktor kedua yang berpengaruh pada sukses atau gagalnya mendaki gunung.

Bila pendaki tidak mempersiapkan pendakian, maka dia hanya memperbesar bahaya subyektif. Misalnya, bahaya kedinginan karena pendaki tidak membawa jaket tebal atau tenda untuk melawan dinginnya udara dan kencangnya angin.

Tidak bisa ditawar, mendaki gunung adalah kegiatan fisik berat. Karena itu, kebugaran fisik adalah hal mutlak. Untuk berjalan dan menarik badan dari rintangan dahan atau batu, otot tungkai dan tangan harus kuat. Untuk menahan beban ransel, otot bahu harus kuat. Daya tahan (endurance) amat diperlukan karena dibutuhkan perjalanan berjam-jam hingga hitungan hari untuk bisa tiba di puncak.
sebagian besar orang menganggap mendaki gunung adalah suatu kegiatan yang tidak penting, bahkan tidak bermanfaat. Tapi aku mempunyai pandangan yang lain tentang pendakian gunung. Mendaki sudah menjadi bagian dari hidup yang tidak mudah untuk kulepaskan begitu saja. Memang sepertinya cara pandangku itu terlalu berlebihan, namun pada kenyataannya memanglah demikian. Sering aku memikirkan kembali pilihan hidup yang kuambil itu, dan seringkali pula aku harus berhadapan dengan dilema antara dua pilihan.

Pilihan pertama adalah terus mendaki mengejar sesuatu yang tidak masuk akal dengan segala konsekuensi yang ada. Sedangkan pilihan kedua meninggalkan semua obsesi gilaku dan memulai kehidupan yang lebih mapan seperti yang dilakukan kebanyakan orang.
Bagi orang yang bisa berpikir dengan akal sehat, tentu pilihan kedua adalah pilihan terbaik. Tapi anehnya aku belum ingin mengambilnya, pilihan pertama masih terlalu berat untuk ditinggalkan.

Melalui pendakian gunung aku menemukan tempat untuk mengungkapkan sisi-sisi idealis dalam diriku, yang sulit ditemukan dalam kehidupan yang biasa-biasa saja. Lain dari kebanyakan orang yang mendaki hanya untuk bersenang-senang atau sekedar jalan-jalan menikmati pemandangan saja, aku menginginkan sesuatu yang berbeda dari itu.

Jiwa petualangan yang tidak pernah puas mengharuskanku mencari bentuk tantangan baru yang lebih dari yang pernah tercapai. Faktor inilah yang menyebabkan aku sulit untuk berhenti bertualang. Sepertinya itu adalah caraku untuk tetap 'hidup'
Mendaki gunung adalah suatu olah raga keras, penuh petualangan dan membutuhkan keterampilan, kecerdasan, kekuatan serta daya juang yang tinggi. Bahaya dan tantangan merupakan daya tarik dari kegiatan ini. Pada hakekatnya bahaya dan tantangan tersebut adalah untuk menguji kemampuan diri dan untuk bisa menyatu dengan alam. Keberhasilan suatu pendakian yang sukar, berarti keunggulan terhadap rasa takut dan kemenangan terhadap perjuangan melawan diri sendiri.
Mendaki gunung = dialog dengan diri sendiri

DIALOG DENGAN DIRI SENDIRI

Mendaki gunung adalah berdialog dengan diri sendiri dan sebagai medianya adalah alam sekitar (gunung, hutan, cuaca dll).

Kita hidup dalam budaya modern, yang berkiblat pada budaya Barat. Akibatnya adalah kita kehilangan identitas diri, asing dengan diri sendiri. Kita jadi terbiasa menekan emosi, suara hati dan bahkan mimpi-mimpi.

Gunung dari sejak ratusan tahun yang lalu sudah ada di sini dan ratusan tahun yang akan datang akan tetap ada di sini. Sedangkan manusia datang dan pergi; lahir - bayi - remaja - dewasa - tua - mati. Generasi demi generasi manusia timbul dan tenggelam di muka bumi.

Gunung dari dulu begitu dan tidak berubah. Dengan mendaki gunung kita mencoba berdialog dengan diri sendiri, untuk jujur mengakui kelebihan dan kekurangan diri kita sendiri. Gunung tidak berubah, tapi tanggapan kita yang terus berubah dari saat ke saat. Susah senang, sedih gembira, takut, marah dll. Yang menjadi pertanyaan adalah: "Apakah kita menyadari dengan betul-betul adanya emosi-emosi tersebut yang silih berganti berubah?

Kalau kita merasa puas diri dan berkuasa, maka kita akan bilang bahwa kita telah mengalahkan gunung (alam). Kita menaklukkan gunung setelah kita menginjakkan kaki di puncaknya.

Kalau kita merasa lemah dan kecil, maka kita akan merasa rendah diri, inferior di hadapan gunung (alam). Kita dikalahkan oleh gunung.

Bila kita merasa damai dengan diri kita sendiri, maka kita akan menjadi bagian dari gunung (alam). Kita "menyatu" dengan alam.

Banyak sekali emosi dan perasaan kita pada saat melakukan pendakian gunung "membanjir" keluar dengan derasnya. Tidak ada yan baik atau buruk dan benar atau salah dengan segala emosi dan perasaan kita di atas. Perasaan dan emosi kita itu akan silih berganti sesuai dengan respon kita terhadap rangsang dari luar dan kondisi batin kita sendiri.

Yang perlu kita lakukan adalah mencermati dan mengamati semua respon kita terhadap rangsangan dari luar dan kondisi batin yang ada di dalam diri kita. Dan proses pengamatan ini berlangsung terus menerus, dari saat ke saat pada waktu kini (present time).

Dengan melakukan hal ini, maka kita akan menjai peka. Peka terhadap diri sendiri yang ada di dalam maupun peka terhadap semua fenomena luar. Suatu saat kita akan dapat berbicara dengan "raksasa yang ada di dalam diri", suatu sumber daya melimpah yang sebelumnya tidak pernah kita sadari itu ada. "Raksasa yang ada di dalam diri" itulah yang akan menjadi "kompas" sejati dalam hidup kita.

mt.pangrango

mt.pangrango